top of page
Search
sarrarisman

Yakin enak jadi raja?

Saya br sj membaca slentingan berita dari Globe Magazine yang memberitakan tentang orientasi seksual Pangeran Charles yang diisukan gay, lengkap dengan bukti foto pria mirip sang pangeran mencium seorang pria muda. Putri Camilla, istrinya, dikatakan akan melayangkan gugatan cerai dan meminta US$ 280 juta. Pangeran William dan Kate Middleton bahkan dikabarkan menjauhkan Charles dari anak-anak mereka.

Belum jelas kebenaran berita ini. Tak ada respons sedikit pun dari pihak istana kerajaan Inggris menanggapi. Tapi bukan berita itu yang saya ingin bahas. Berita itu mengingatkan saya akan ‘teori’ Ali bin Abi Thalib RA, dalam pengelompokkan cara memperlakukan anak yang sudah banyak kita ketahui, yaitu 7 tahun pertama memperlakukan anak sebagai raja, lalu sebagai tawanan perang di 7 tahun ke dua, dan di 7 tahun ketiga menjadi mitra.

Karena beberapa orang mengeluhkan tulisan saya yang lalu-lalu terlalu panjang. Kali ini saya mencoba membuatnya sedikit lebih pendek, jadi saya hanya membahas 7 tahun pertamanya saja dari sudut pandang saya.

Banyak yang mengira menjadi raja itu enak. Banyak dayang-dayang yang melayani, selalu mendapatkan apa yang diingini, memerintahkan orang sesuka hati, segala yang terbaik dimiliki. Kurang lebih seperti semua kisah dongeng yang semenjak kecil kita ketahui. Film-film selalu menyuguhkan gambaran itu sehingga itu pula yang kita pahami dari gambaran seorang raja.

Padahal segala sesuatu, seperti koin, ada 2 sisi. Sayangnya jarang yang melihat sisi koin yang sebelahnya lagi.

Setiap gerak-gerik raja diperhatikan, mereka harus membuat keputusan, kesalahannya kadang dilihat dengan menggunakan kaca pembesar, semuanya diatur agar terlihat sempurna, minimal dari luar.

Jangankan raja (atau ratu), keturunan-keturunan mereka pun menjadi sorotan. Tidak usah membahas ratu elizabethnya, setiap gerak-gerik Kate Middleton saja, yang suaminya bahkan belum menjadi raja, di perhatikan di bawah mikroskop. Kalau tetangga saya keluar rumah pake daster robek di ketiaknya, tidak ada yang perduli. Tapi kalau Kate yang begitu, apa nggak jadi headline fashion news berminggu-minggu tanpa henti? Kalau preman ujung gang berpesta arak setiap wiken sampai pagi, pasangannya bergonta-ganti, tidak masuk tabloid negri. Tapi ketika Prince Harry yang melakukannya, langsung bikin sak dunia geleng-geleng kepala.

Kalau ada orang yang mengunyah sambil bicara sampai makanannya tersemprot kemana-mana, paling yang terganggu hanya lawan bicaranya. Tapi kalau seorang permaisuri yang melakukannya, orang akan tidak habis pikir, kok tidak diajarkan adab meja makan oleh guru-guru privat kalangan istana. Raja, bukan semata mendapat yang di minta, dipenuhi semua permintaannya, mendapatkan yang terbaik tanpa usaha. Tapi senyuman mereka di atur, lambaian tangannya harus lentur, pakaian harus haute couture, porsi makanan terukur, kata-kata rapih tertutur, dan dalam keadaan apapun, perilaku sopan tak boleh luntur.

Yang saya tangkap dari teori Ali RA justru itu. anak 0-7 harus tau apa yang boleh dilakukan, apa yang tidak. Kapan boleh melakukannya, kapan tidak bolehnya. Kalimat-kalimat sopan harus diajarkan sejak dini, pakaian rapi dan pada tempatnya juga harus mereka ketahui. Mereka harus belajar membuat keputusan. Dari hal-hal ringan dan makin lama semakin besar. Mereka harus bisa mengatur diri sendiri dulu, baru bisa kelak mengatur bangsa, saya lebih melihat bahwa mereka harus diperlakukan seakan mereka calon raja.

Mereka harus belajar bertanggung jawab, bahwa keputusan yang mereka buat itu berkonsekuensi. Mereka tidak akan paham kalau mereka tidak pernah merasakan konsekuensi-konsekuensi itu sendiri. Mereka harus belajar cara baik bersosialisasi, tapi dengan cara ‘kerajaan’ yang tidak lantas dibebaskan dan dilempar keluar bermain bersama tetangga. Coba pikir, yang dengan bebas bisa main dengan George dan Charlottenya Prince Williams stiap hari, siapa?

Raja-raja sukses mendapatkan pengasuhan terbaik 7 tahun pertama khidupan mereka. Jika tidak, bagaimana Muhammad al-fatih bisa menguasai begitu banyak ilmu dan bahasa di 7 tahun kedua dan menaklukkan konstantinopel di 7 tahun ketiganya?

Fokus pada fondasi pertama fase ‘usia raja’ ini, maka bangunan indah dan megah tinggal diatur diatasnya dan jauh lebih mudah tersusun rapih. Mereka perlu pengasuh dan pendidik terpilih yang focus hanya pada pekerjaannya mengasuh calon-calon ratu dan raja, bukan part-timer yang menyambi-nyambi pekerjaan mulia ini dengan pekerjaan lainnya.

Yang masih mau memainkan peran ‘dayang-dayang’ untuk ‘raja-raja’ kecil ini, silahkan saja. Saya hanya tidak terbayang bagaimana seseorang, jika di 7 tahun pertamanya permintaannya selalu di penuhi, pelayanan selalu di beri, tidak pernah di larang, lalu di 7 th kedua bisa diperlakukan seperti ‘tawanan perang’. Apa diharapkan mereka lantas bisa patuh dan didisiplinkan dengan mudah? Tidak masuk logika saya.

Saya memilih mempersiapkan mereka untuk singgasana. Singgasana keluarga, masyarakat, dan menjadi pribadi yang kelak bisa menjadi contoh tauladan kebaikannya. Yang tahu apa dimana, kapan dan bagaimananya menjalankan kehidupan berbangsa. Raja yang bijaksana.

403 views0 comments

Recent Posts

See All

Walk The Talk

Ada seorang anak pengidap diabetes yang tinggal di satu desa yang sama dengan Gandhi. Anak itu sangat suka gula dan memutuskan bahwa dia...

Let's Travel Around The World

Jalan-jalanlah. Menabunglah khusus untuk jalan-jalan. Tidak perlu jauh. Apalagi keluar negeri. Indonesia punya banyak sekali objek wisata...

Tunggu dingin dulu

Bismillah. Islam memerintahkan kita untuk menunggu sampai makanan dan minuman tidak berasap lagi, baru disantap. sebetulnya bukan hanya...

Comentarios


Post: Blog2_Post
bottom of page